Kamis, 24 Januari 2013

sepak bola

MAKALAH ORGANISASI PERSATUAN SEPAK BOLA SELURUH INDONESIA (PSSI)

0
I.LATAR BELAKANG
Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, disingkat PSSI, adalah organisasi induk yang bertugas mengatur kegiatan olahraga sepak bola di Indonesia. PSSI berdiri pada tanggal 19 April 1930 dengan nama awal Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia. Ketua umum pertamanya adalah Ir. Soeratin Sosrosoegondo. PSSI dibentuk pada tanggal 19 April 1930 di Yogyakarta dengan nama Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia. Sebagai organisasi olahraga yang lahir pada masa penjajahan Belanda, kelahiran PSSI ada kaitannya dengan upaya politik untuk menentang penjajahan. Apabila mau meneliti dan menganalisa lebih lanjut saat-saat sebelum, selama, dan sesudah kelahirannya hingga 5 tahun pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, terlihat jelas bahwa PSSI lahir dibidani oleh muatan politis, baik secara langsung maupun tidak, untuk menentang penjajahan dengan strategi menyemai benih-benih nasionalisme di dada pemuda-pemuda Indonesia yang ikut bergabung. PSSI didirikan oleh seorang insinyur sipil bernama Soeratin Sosrosoegondo. Ia menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Teknik Tinggi di Heckelenburg, Jerman, pada tahun 1927 dan kembali ke tanah air pada tahun 1928. Ketika kembali, Soeratin bekerja pada sebuah perusahaan bangunan Belanda, Sizten en Lausada, yang berkantor pusat di Yogyakarta. Di sana beliau merupakan satu-satunya orang Indonesia yang duduk sejajar dengan komisaris perusahaan konstruksi besar itu. Akan tetapi, didorong oleh semangat nasionalisme yang tinggi, beliau kemudian memutuskan untuk mundur dari perusahaan tersebut. Setelah berhenti dari Sizten en Lausada, Soeratin lebih banyak aktif di bidang pergerakan. Sebagai seorang pemuda yang gemar bermain sepak bola, beliau menyadari kepentingan pelaksanaan butir-butir keputusan yang telah disepakati bersama dalam pertemuan para pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 (Sumpah Pemuda). Soeratin melihat sepak bola sebagai wadah terbaik untuk menyemai nasionalisme di kalangan pemuda sebagai sarana untuk menentang Belanda. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, Soeratin rajin mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh sepak bola di Solo, Yogyakarta, dan Bandung. Pertemuan dilakukan dengan kontak pribadi secara diam-diam untuk menghindari sergapan Polisi Belanda (PID). Kemudian, ketika mengadakan pertemuan di hotel kecil Binnenhof di Jalan Kramat 17, Jakarta, Soeri, ketua VIJ (Voetbalbond Indonesische Jakarta), dan juga pengurus lainnya, dimatangkanlah gagasan perlunya dibentuk sebuah organisasi sepak bola nasional. Selanjutnya, pematangan gagasan tersebut dilakukan kembali di Bandung, Yogyakarta, dan Solo yang dilakukan dengan beberapa tokoh pergerakan nasional, seperti Daslam Hadiwasito, Amir Notopratomo, A. Hamid, dan Soekarno (bukan Bung Karno). Sementara itu, untuk kota-kota lainnya, pematangan dilakukan dengan cara kontak pribadi atau melalui kurir, seperti dengan Soediro yang menjadi Ketua Asosiasi Muda Magelang. Kemudian pada tanggal 19 April 1930, berkumpullah wakil dari VIJ (Sjamsoedin, mahasiswa RHS), BIVB – Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (Gatot), PSM – Persatuan sepak bola Mataram Yogyakarta (Daslam Hadiwasito, A. Hamid, dan M. Amir Notopratomo), VVB – Vortenlandsche Voetbal Bond Solo (Soekarno), MVB – Madioensche Voetbal Bond (Kartodarmoedjo), IVBM – Indonesische Voetbal Bond Magelang (E.A. Mangindaan), dan SIVB – Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (Pamoedji). Dari pertemuan tersebut, diambillah keputusan untuk mendirikan PSSI, singkatan dari Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia. Nama PSSI lalu diubah dalam kongres PSSI di Solo pada tahun 1930 menjadi Persatuan sepak bola Seluruh Indonesia sekaligus menetapkan Ir. Soeratin sebagai ketua umumnya. II.RUMUSAN MASALAH
Sampai saat ini,di dalam tubuh PSSI banyak sekali permasalahan yang terjadi,seperti adanya liga tandingan atau liga yang bukan di bawah naungan PSSI tersebut. III.LANDASAN TEORI PSSI di masa kepemimpinan Nurdin Halid memiliki beberapa hal yang dianggap kontroversi, antara lain mudahnya Nurdin Halid memberikan ampunan atas pelanggaran, kukuhnya Nurdin Halid sebagai Ketua Umum meski dia dipenjara, isu tidak sedap yang beredar pada masa pemilihan Ketua Umum tahun 2010, dan reaksi penolakan atas diselenggarakannya Liga Primer Indonesia. Pada 13 Agustus 2007, Ketua Umum Nurdin Halid divonis dua tahun penjara akibat tindak pidana korupsi dalam pengadaan minyak goreng. Berdasarkan standar statuta FIFA, seorang pelaku kriminal tidak boleh menjabat sebagai ketua umum sebuah asosiasi sepakbola nasionalKarena alasan tersebut, Nurdin didesak untuk mundur dari berbagai pihakJusuf Kalla (Wakil Presiden RI saat itu), Ketua KONI, dan bahkan FIFA menekan Nurdin untuk mundur. FIFA bahkan mengancam untuk menjatuhkan sanksi kepada PSSI jika tidak diselenggarakan pemilihan ulang ketua umum. Akan tetapi Nurdin bersikeras untuk tidak mundur dari jabatannya sebagai ketua PSSI, dan tetap menjalankan kepemimpinan PSSI dari balik jeruji penjara Agar tidak melanggar statuta PSSI, statuta mengenai ketua umum yang sebelumnya berbunyi “harus tidak pernah terlibat dalam kasus kriminal” (bahasa Inggris: “They…, must not have been previously found guilty of a criminal offense….”) diubah dengan menghapuskan kata “pernah” (bahasa Inggris: “have been previously”) sehingga artinya menjadi “harus tidak sedang dinyatakan bersalah atas suatu tindakan kriminal” (bahasa Inggris: “… must not found guilty of a criminal offense…”). Setelah masa tahanannya selesai, Nurdin kembali menjabat sebagai ketua PSSI. Pada Oktober 2010, Liga Primer Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas sepak bola Indonesia dideklarasikan di Semarang oleh Konsorsium dan 17 perwakilan klub. Kompetisi ini tidak direstui oleh PSSI dan dianggap ilegal. Meski PSSI memaparkan secara panjang lebar alasan mengapa LPI melawan hukum, organisasi ini tidak pernah menjelaskan alasan mengapa mereka tidak merestui LPI, kecuali menyebut LPI sebagai “kompetisi ecek-ecek”,”tarkam”,dan “banci.” LPI akhirnya mendapatkan izin dari pemerintah melalui Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng. Klub anggota yang keluar dari kompetisi PSSI dan mengikuti Liga Primer Indonesia dikenakan sanksi degradasidan tidak diundang dalam Munas PSSI. Padahal klub-klub tersebut hanya mengundurkan diri dari Liga Super Indonesia dan bukan dari keanggotaan PSSI, sehingga masih memiliki hak suara dalam kongres. Selain itu, menurut Statuta PSSI, penghapusan keanggotaan klub dari PSSI tidak dapat ditentukan hanya oleh petinggi PSSI, harus melalui kongres dan disetujui minimal 3/4 anggota yang hadir. Kisruh di PSSI semakin menjadi-jadi semenjak munculnya LPI. Ketua Umum Nurdin Halid melarang segala aktivitas yang dilakukan oleh LPI. Pada Kongres PSSI tanggal 26 Maret 2011 di Pekanbaru, Riau, masalah kekisruhan di tubuh PSSI seperti disengaja disembunyikan dari publik dengan cara mengadakan kongres secara tertutup. Kongres tersebut pada akhirnya tidak berhasil diselenggarakan karena terjadi kekisruhan mengenai hak suara Pada 1 April 2011, Komite Darurat FIFA memutuskan untuk membentuk Komite Normalisasi yang akan mengambil alih kepemimpinan PSSI dari komite eksekutif di bawah pimpinan Nurdin Halid. Komite Darurat FIFA menganggap bahwa kepemimpinan PSSI saat ini tidak dapat mengendalikan sepak bola di Indonesia, terbukti dengan kegagalannya mengendalikan LPI dan menyelenggarakan kongres. FIFA juga menyatakan bahwa 4 orang calon Ketua Umum PSSI yaitu Nurdin Halid, Nirwan Bakrie, Arifin Panigoro, dan George Toisutta tidak dapat mencalonkan diri sebagai ketua umum sesuai dengan keputusan Komite Banding PSSI tanggal 28 Februari 2011. Selanjutnya, FIFA mengangkat Agum Gumelar sebagai Ketua Komite Normalisasi PSSI. Setelah melalui serangkaian kegagalan, termasuk kembali gagalnya penyelengaraan Kongres tanggal 20 Mei 2011 di Jakarta, akhirnya dalam Kongres Luar Biasa tanggal 9 Juli 2011 di Solo, Djohar Arifin Husin terpilih sebagai Ketua Umum PSSI periode 2011-2015.
IV. PEMBAHASAN
Kepengurusan PSSI Periode 2011-2015 : Ketua Umum : Djohar Arifin Husin Wakil Ketua Umum : Farid Rahman Anggota Komite Eksekutif : 1. Sihar Sitorus 2. Tuti Dau 3. Robertho Rouw 4. Tony Aprilani 5. Bob Hippy 6. La Nyalla M. Mattalitti 7. Widodo Santoso 8. Erwin Dwi Budiawan 9. Mawardi Nurdin Sekretaris Jendral : Tri Goestoro Wakil Sekretaris Jendral : 1. Tondo Widodo 2. Hadiyandra Bendahara : Zulkifli Nurdin Wakil Bendahara: Husni Hasibuan Adanya liga tandingan dari PSSI saat era Nurdin Halid ataupun saat ini yang di pimpin oleh Djohar bisa memecah belah PSSI. CERITAMU.COM – Layaknya De javu Liga Super Indonesia musim lalu dimana di tengah musim terbentuk sebuah liga tandingan yaitu Liga Primer Indonesia, di awal musim ini hal tersebut sepertinya bisa terulang kembali. Wacana dibentuknya liga tandingan terjadi usai pertemuan manajer-manajer klub Liga Indonesia yang digelar malam tadi di Hotel Ambhara, Kebayoran Baru, Jakarta. Sebanyak 14 klub menyatakan keberatannya atas beberapa hal keputusan PSSI terkait Liga Indonesia musim depan yang menurut mereka telah melanggar Statuta PSSI. 14 klub tersebut merupakan klub-klub yang ikut serta di Liga Super Indonesia musim lalu yaitu Persiba, Persipura, Persidafon, Persiwa, Persela, PSPS, Pelita Jaya, Semen Padang, Deltras, Mitra Kukar, Sriwijaya, Arema, Persisam dan Persib. Dalam pertemuan tersebut, 14 dari 24 klub peserta yang rencananya akan ikut serta dalam Liga Prima Indonesia musim depan meminta pelaksanaan Liga dikembalikan kepada PT Liga Indonesia karena pengelola saat ini yaitu PT Liga Prima Indonesia Sportindo dianggap tidak kompeten. Selain itu mereka juga mengkritik PSSI yang tetap memaksakan Liga diisi 24 klub, yang mana hal tersebut akan membuat pelaksanaan Liga menjadi sangat panjang dan melelahkan. Selain itu penambahan beberapa klub seperti Persema dan Persibo ikut serta dalam kasta tertinggi Liga Indonesia juga tidak bisa diterima karena kedua klub tersebut harusnya masih dalam hukuman PSSI. “Kami juga termasuk memperjuangkan soal 24 klub yang ikut di dalam liga. Karena dalam keputusan kongres Bali itu cuma 18 klub. Kalau di antara 24 klub itu tidak ada Persema dan Persibo itu mungkin tidak masalah. Tapi ini ada, ini kan tidak sesuai statuta.” ujar Juru Bicara kelompok 14 klub, Harbiansyah yang juga merupakan General Manager Persisam Samarinda. “Kami ini kan menentang Nurdin Halid karena dia tidak berbuat sesuai statuta. Kalau sekarang tidak sesuai statuta juga, apa kata dunia. Kalian pikir saja, 24 klub mati kita. Di Eropa saja yang cuma tinggal pakai kereta cuma 20 klub. Ini kita yang dari Sabang sampai Merauke.”lanjutnya. Di akhir, persatuan 14 klub tersebut kemudian menuliskan pernyataan sikap mereka kepada PSSI dan membagikannya kepada seluruh wartawan yang hadir di pertemuan klub. Berikut isi dari pernyataan sikap tersebut : Memperhatikan perjalanan rapat yang tidak sesuai dengan keinginan peserta serta keinginan PSSI yang diwakili oleh Wakil Ketua Umum Farid Rahman dan Exco Sihar Sitorus tidak sesuai dengan statuta. Maka dengan ini kami telah sepaham bahwa: 1.Kami tetap konsisten untuk melanjutkan kompetisi Liga Super Indonesia yang akan dikelola oleh PT Liga Indonesia sesuai dengan amanat dan ketetapan Kongres II PSSI tahun 2011 di Bali. 2. Kami menerima penyerahan hibah saham dari PT Liga Indonesia yang diwakili oleh sdr. Djoko Driyono kepada klub-klub Liga Super Indonesia sejumlah 99% kepada klub-klub dan 1% kepada PSSI, sesuai dengan amanat kongres II PSSI tahun 2011 di Bali. 3. Maka dengan ini kami menerima kepemilikan saham yang kemudian kami tindaklanjuti dengan membentuk dan meneruskan PT Liga Indonesia sampai dengan dijadwalkan kompetisi Liga Super Indonesia 2011-2012. 4. Demikian surat kesepahaman ini kami sepakati bersama tanpa tekanan dari pihak manapun. Okezone – Satu problem sepakbola Indonesia selesai. Solo, Jawa Tengah, menjadi saksi awal era baru sepakbola Tanah Air dengan memilih Djohar Arifin dan Farid Rahman sebagai ketua dan wakil ketua umum PSSI, menggantikan Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie. Terpilihnya Djohar jelas menjadi angin segar bagi pecinta olahraga mengolah si kulit bundar. Bagaimana tidak, selama ini masyarakat Indonesia memimpikan pemimpin yang mampu memberikan totalitasnya kepada sepakbola. Selain mereformasi PSSI, Djohar juga diharapkan memiliki target jangka panjang. Apalagi kalau bukan prestasi. Selama ini Indonesia seperti jalan di tempat. Jangankan prestasi dunia, berjaya di kawasan Asia Tenggara saja sulit. Kita tentu masih ingat euforia masyarakat saat Firman Utina dkk berlaga di Piala AFF akhir tahun lalu. Segala lapisan masyarakat melebur menjadi satu, memerahkan Stadion Utama Gelora Bung Karno. Bahkan, ketika tim besutan Alfred Riedl (pelatih Indonesia kala itu) gagal mempersembahkan gelar juara, toh mereka tetap dianggap sebagai pahlawan bangsa. Dukungan moril tetap diberikan kepada Firman cs. Ketika itu, sukses Indonesia menjadi runner-up kompetisi se-Asia Tenggara diharapkan menjadi momentum kebangkitan sepakbola Tanah Air. Kita berharap akan ada prestasi lebih tinggi dari sekadar menjadi tim penggembira di ajang internasional. Ironisnya, usai gelaran Piala AFF, sepakbola kita justru dihantam isu pelik. Tuntutan memberhentikan Nurdin Halid cs sebagai nahkoda PSSI yang kemudian disusul dengan munculnya liga tandingan bentukan pengusaha Arifin Panigoro, Liga Primer Indonesia. Kehadiran LPI di satu sisi memberi warna tersendiri sebagai kompetisi di Indonesia. Tapi, kegigihan PSSI ketika itu untuk tidak mengakui keberadaan LPI menjadi masalah besar. Dualisme LPI dan Liga Super Indonesia (LSI) ini juga yang memperuncing kemelut induk organisasi tertinggi Tanah Air. LPI muncul lantaran tidak puas dengan kepemimpinan Nurdin Halid di PSSI. Bahkan, tiga klub anggota liga yang diakui PSSI – Persema Malang, Persebaya, dan PSM Makassar- memilih nyebrang ke LPI. Namun sejak bergulir pada Januari silam, LPI seolah jalan ditempat. Bahkan sempat tersiar kabar LPI tak mampu melanjutkan kompetisi ke putaran kedua. Nasib LPI makin tidak jelas ketika FIFA melarang Arifin maju sebagai calon ketua umum PSSI dalam Kongres Luar Biasa. Namun, kubu Arifin menegaskan LPI akan tetap melanjutkan putaran keduanya, 17 September mendatang. Yang menjadi masalahnya adalah, bagaimana bisa dua kompetisi ini bergulir di Indonesia. Ketidakjelasan format kompetisi LPI ditengarai akan menjadi masalah tersendiri bagi sepakbola Tanah Air, hingg akhirnya peleburan LPI dan LSI pun disebut-sebut menjadi jalan keluar dualisme ini. Sayang, rencana ini pun mendapat respon beragam. LPI dianggap berada di level berbeda dengan LSI. Seperti diketahui, klub-klub LSI butuh perjuangan berat mulai dari Divisi 1 dan Divisi Utama untuk bisa menembus LSI. Lalu, jika LPI begitu saja dileburkan dengan LSI dipastikan akan menimbulkan kecemburuan diantara peserta Divisi 1 dan Divisi Utama. Pasalnya mereka “berdarah-darah” untuk bisa menembus level tertinggi kompetisi sepakbola Indonesia, sementara klub-klub LPI hampir semuanya baru terbentuk satu tahun terakhir. Belum lagi masalah biaya operasional klub. Dengan bertambahnya jumlah klub, maka dana yang dibutuhkan akan semakin besar. Padahal selama ini klub selalu morat marit mencari dana, terlebih mulai musim depan tak ada lagi aliran dari ABPD. Ini dimaksudkan agar klub mandiri dan sebagai langkah awal menuju sepakbola profesional. Saat ini saja sejumlah klub baik LPI dan LSI masih dihadapkan pada masalah pelik, minimnya aliran dana yang berakibat pada mandeknya gaji pemain. Namun, pada akhirnya bagaimana format kompetisi ke depannya diserahkan kepada PSSI. Yang terpenting tidak membelok dari tujuan utama, yakni memajukan sepakbola Indonesia. V. PENUTUP A.KESIMPULAN PSSI dari era Nurdin Halid hingga saat ini masih banyak masalah di intern PSSI sendiri.PSSI terlihat seperti lebih mementingkan kepentingan individu ataupun kelompok dari pada kemajuan sepak bola Indonesia sendiri.dan terlihat egois sehingga masukan-masukan dari luar tidak didengar oleh mereka.dan wajar saja jika ada liga tandingan yang dibuat oleh pihak lain diI.LATAR BELAKANG Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, disingkat PSSI, adalah organisasi induk yang bertugas mengatur kegiatan olahraga sepak bola di Indonesia. PSSI berdiri pada tanggal 19 April 1930 dengan nama awal Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia. Ketua umum pertamanya adalah Ir. Soeratin Sosrosoegondo. PSSI dibentuk pada tanggal 19 April 1930 di Yogyakarta dengan nama Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia. Sebagai organisasi olahraga yang lahir pada masa penjajahan Belanda, kelahiran PSSI ada kaitannya dengan upaya politik untuk menentang penjajahan. Apabila mau meneliti dan menganalisa lebih lanjut saat-saat sebelum, selama, dan sesudah kelahirannya hingga 5 tahun pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, terlihat jelas bahwa PSSI lahir dibidani oleh muatan politis, baik secara langsung maupun tidak, untuk menentang penjajahan dengan strategi menyemai benih-benih nasionalisme di dada pemuda-pemuda Indonesia yang ikut bergabung. PSSI didirikan oleh seorang insinyur sipil bernama Soeratin Sosrosoegondo. Ia menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Teknik Tinggi di Heckelenburg, Jerman, pada tahun 1927 dan kembali ke tanah air pada tahun 1928. Ketika kembali, Soeratin bekerja pada sebuah perusahaan bangunan Belanda, Sizten en Lausada, yang berkantor pusat di Yogyakarta. Di sana beliau merupakan satu-satunya orang Indonesia yang duduk sejajar dengan komisaris perusahaan konstruksi besar itu. Akan tetapi, didorong oleh semangat nasionalisme yang tinggi, beliau kemudian memutuskan untuk mundur dari perusahaan tersebut. Setelah berhenti dari Sizten en Lausada, Soeratin lebih banyak aktif di bidang pergerakan. Sebagai seorang pemuda yang gemar bermain sepak bola, beliau menyadari kepentingan pelaksanaan butir-butir keputusan yang telah disepakati bersama dalam pertemuan para pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 (Sumpah Pemuda). Soeratin melihat sepak bola sebagai wadah terbaik untuk menyemai nasionalisme di kalangan pemuda sebagai sarana untuk menentang Belanda. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, Soeratin rajin mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh sepak bola di Solo, Yogyakarta, dan Bandung. Pertemuan dilakukan dengan kontak pribadi secara diam-diam untuk menghindari sergapan Polisi Belanda (PID). Kemudian, ketika mengadakan pertemuan di hotel kecil Binnenhof di Jalan Kramat 17, Jakarta, Soeri, ketua VIJ (Voetbalbond Indonesische Jakarta), dan juga pengurus lainnya, dimatangkanlah gagasan perlunya dibentuk sebuah organisasi sepak bola nasional. Selanjutnya, pematangan gagasan tersebut dilakukan kembali di Bandung, Yogyakarta, dan Solo yang dilakukan dengan beberapa tokoh pergerakan nasional, seperti Daslam Hadiwasito, Amir Notopratomo, A. Hamid, dan Soekarno (bukan Bung Karno). Sementara itu, untuk kota-kota lainnya, pematangan dilakukan dengan cara kontak pribadi atau melalui kurir, seperti dengan Soediro yang menjadi Ketua Asosiasi Muda Magelang. Kemudian pada tanggal 19 April 1930, berkumpullah wakil dari VIJ (Sjamsoedin, mahasiswa RHS), BIVB – Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (Gatot), PSM – Persatuan sepak bola Mataram Yogyakarta (Daslam Hadiwasito, A. Hamid, dan M. Amir Notopratomo), VVB – Vortenlandsche Voetbal Bond Solo (Soekarno), MVB – Madioensche Voetbal Bond (Kartodarmoedjo), IVBM – Indonesische Voetbal Bond Magelang (E.A. Mangindaan), dan SIVB – Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (Pamoedji). Dari pertemuan tersebut, diambillah keputusan untuk mendirikan PSSI, singkatan dari Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia. Nama PSSI lalu diubah dalam kongres PSSI di Solo pada tahun 1930 menjadi Persatuan sepak bola Seluruh Indonesia sekaligus menetapkan Ir. Soeratin sebagai ketua umumnya. II.RUMUSAN MASALAH Sampai saat ini,di dalam tubuh PSSI banyak sekali permasalahan yang terjadi,seperti adanya liga tandingan atau liga yang bukan di bawah naungan PSSI tersebut. III.LANDASAN TEORI PSSI di masa kepemimpinan Nurdin Halid memiliki beberapa hal yang dianggap kontroversi, antara lain mudahnya Nurdin Halid memberikan ampunan atas pelanggaran, kukuhnya Nurdin Halid sebagai Ketua Umum meski dia dipenjara, isu tidak sedap yang beredar pada masa pemilihan Ketua Umum tahun 2010, dan reaksi penolakan atas diselenggarakannya Liga Primer Indonesia. Pada 13 Agustus 2007, Ketua Umum Nurdin Halid divonis dua tahun penjara akibat tindak pidana korupsi dalam pengadaan minyak goreng. Berdasarkan standar statuta FIFA, seorang pelaku kriminal tidak boleh menjabat sebagai ketua umum sebuah asosiasi sepakbola nasionalKarena alasan tersebut, Nurdin didesak untuk mundur dari berbagai pihakJusuf Kalla (Wakil Presiden RI saat itu), Ketua KONI, dan bahkan FIFA menekan Nurdin untuk mundur. FIFA bahkan mengancam untuk menjatuhkan sanksi kepada PSSI jika tidak diselenggarakan pemilihan ulang ketua umum. Akan tetapi Nurdin bersikeras untuk tidak mundur dari jabatannya sebagai ketua PSSI, dan tetap menjalankan kepemimpinan PSSI dari balik jeruji penjara Agar tidak melanggar statuta PSSI, statuta mengenai ketua umum yang sebelumnya berbunyi “harus tidak pernah terlibat dalam kasus kriminal” (bahasa Inggris: “They…, must not have been previously found guilty of a criminal offense….”) diubah dengan menghapuskan kata “pernah” (bahasa Inggris: “have been previously”) sehingga artinya menjadi “harus tidak sedang dinyatakan bersalah atas suatu tindakan kriminal” (bahasa Inggris: “… must not found guilty of a criminal offense…”). Setelah masa tahanannya selesai, Nurdin kembali menjabat sebagai ketua PSSI. Pada Oktober 2010, Liga Primer Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas sepak bola Indonesia dideklarasikan di Semarang oleh Konsorsium dan 17 perwakilan klub. Kompetisi ini tidak direstui oleh PSSI dan dianggap ilegal. Meski PSSI memaparkan secara panjang lebar alasan mengapa LPI melawan hukum, organisasi ini tidak pernah menjelaskan alasan mengapa mereka tidak merestui LPI, kecuali menyebut LPI sebagai “kompetisi ecek-ecek”,”tarkam”,dan “banci.” LPI akhirnya mendapatkan izin dari pemerintah melalui Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng. Klub anggota yang keluar dari kompetisi PSSI dan mengikuti Liga Primer Indonesia dikenakan sanksi degradasidan tidak diundang dalam Munas PSSI. Padahal klub-klub tersebut hanya mengundurkan diri dari Liga Super Indonesia dan bukan dari keanggotaan PSSI, sehingga masih memiliki hak suara dalam kongres. Selain itu, menurut Statuta PSSI, penghapusan keanggotaan klub dari PSSI tidak dapat ditentukan hanya oleh petinggi PSSI, harus melalui kongres dan disetujui minimal 3/4 anggota yang hadir. Kisruh di PSSI semakin menjadi-jadi semenjak munculnya LPI. Ketua Umum Nurdin Halid melarang segala aktivitas yang dilakukan oleh LPI. Pada Kongres PSSI tanggal 26 Maret 2011 di Pekanbaru, Riau, masalah kekisruhan di tubuh PSSI seperti disengaja disembunyikan dari publik dengan cara mengadakan kongres secara tertutup. Kongres tersebut pada akhirnya tidak berhasil diselenggarakan karena terjadi kekisruhan mengenai hak suara Pada 1 April 2011, Komite Darurat FIFA memutuskan untuk membentuk Komite Normalisasi yang akan mengambil alih kepemimpinan PSSI dari komite eksekutif di bawah pimpinan Nurdin Halid. Komite Darurat FIFA menganggap bahwa kepemimpinan PSSI saat ini tidak dapat mengendalikan sepak bola di Indonesia, terbukti dengan kegagalannya mengendalikan LPI dan menyelenggarakan kongres. FIFA juga menyatakan bahwa 4 orang calon Ketua Umum PSSI yaitu Nurdin Halid, Nirwan Bakrie, Arifin Panigoro, dan George Toisutta tidak dapat mencalonkan diri sebagai ketua umum sesuai dengan keputusan Komite Banding PSSI tanggal 28 Februari 2011. Selanjutnya, FIFA mengangkat Agum Gumelar sebagai Ketua Komite Normalisasi PSSI. Setelah melalui serangkaian kegagalan, termasuk kembali gagalnya penyelengaraan Kongres tanggal 20 Mei 2011 di Jakarta, akhirnya dalam Kongres Luar Biasa tanggal 9 Juli 2011 di Solo, Djohar Arifin Husin terpilih sebagai Ketua Umum PSSI periode 2011-2015. IV. PEMBAHASAN Kepengurusan PSSI Periode 2011-2015 : Ketua Umum : Djohar Arifin Husin Wakil Ketua Umum : Farid Rahman Anggota Komite Eksekutif : 1. Sihar Sitorus 2. Tuti Dau 3. Robertho Rouw 4. Tony Aprilani 5. Bob Hippy 6. La Nyalla M. Mattalitti 7. Widodo Santoso 8. Erwin Dwi Budiawan 9. Mawardi Nurdin Sekretaris Jendral : Tri Goestoro Wakil Sekretaris Jendral : 1. Tondo Widodo 2. Hadiyandra Bendahara : Zulkifli Nurdin Wakil Bendahara: Husni Hasibuan Adanya liga tandingan dari PSSI saat era Nurdin Halid ataupun saat ini yang di pimpin oleh Djohar bisa memecah belah PSSI. CERITAMU.COM – Layaknya De javu Liga Super Indonesia musim lalu dimana di tengah musim terbentuk sebuah liga tandingan yaitu Liga Primer Indonesia, di awal musim ini hal tersebut sepertinya bisa terulang kembali. Wacana dibentuknya liga tandingan terjadi usai pertemuan manajer-manajer klub Liga Indonesia yang digelar malam tadi di Hotel Ambhara, Kebayoran Baru, Jakarta. Sebanyak 14 klub menyatakan keberatannya atas beberapa hal keputusan PSSI terkait Liga Indonesia musim depan yang menurut mereka telah melanggar Statuta PSSI. 14 klub tersebut merupakan klub-klub yang ikut serta di Liga Super Indonesia musim lalu yaitu Persiba, Persipura, Persidafon, Persiwa, Persela, PSPS, Pelita Jaya, Semen Padang, Deltras, Mitra Kukar, Sriwijaya, Arema, Persisam dan Persib. Dalam pertemuan tersebut, 14 dari 24 klub peserta yang rencananya akan ikut serta dalam Liga Prima Indonesia musim depan meminta pelaksanaan Liga dikembalikan kepada PT Liga Indonesia karena pengelola saat ini yaitu PT Liga Prima Indonesia Sportindo dianggap tidak kompeten. Selain itu mereka juga mengkritik PSSI yang tetap memaksakan Liga diisi 24 klub, yang mana hal tersebut akan membuat pelaksanaan Liga menjadi sangat panjang dan melelahkan. Selain itu penambahan beberapa klub seperti Persema dan Persibo ikut serta dalam kasta tertinggi Liga Indonesia juga tidak bisa diterima karena kedua klub tersebut harusnya masih dalam hukuman PSSI. “Kami juga termasuk memperjuangkan soal 24 klub yang ikut di dalam liga. Karena dalam keputusan kongres Bali itu cuma 18 klub. Kalau di antara 24 klub itu tidak ada Persema dan Persibo itu mungkin tidak masalah. Tapi ini ada, ini kan tidak sesuai statuta.” ujar Juru Bicara kelompok 14 klub, Harbiansyah yang juga merupakan General Manager Persisam Samarinda. “Kami ini kan menentang Nurdin Halid karena dia tidak berbuat sesuai statuta. Kalau sekarang tidak sesuai statuta juga, apa kata dunia. Kalian pikir saja, 24 klub mati kita. Di Eropa saja yang cuma tinggal pakai kereta cuma 20 klub. Ini kita yang dari Sabang sampai Merauke.”lanjutnya. Di akhir, persatuan 14 klub tersebut kemudian menuliskan pernyataan sikap mereka kepada PSSI dan membagikannya kepada seluruh wartawan yang hadir di pertemuan klub. Berikut isi dari pernyataan sikap tersebut : Memperhatikan perjalanan rapat yang tidak sesuai dengan keinginan peserta serta keinginan PSSI yang diwakili oleh Wakil Ketua Umum Farid Rahman dan Exco Sihar Sitorus tidak sesuai dengan statuta. Maka dengan ini kami telah sepaham bahwa: 1.Kami tetap konsisten untuk melanjutkan kompetisi Liga Super Indonesia yang akan dikelola oleh PT Liga Indonesia sesuai dengan amanat dan ketetapan Kongres II PSSI tahun 2011 di Bali. 2. Kami menerima penyerahan hibah saham dari PT Liga Indonesia yang diwakili oleh sdr. Djoko Driyono kepada klub-klub Liga Super Indonesia sejumlah 99% kepada klub-klub dan 1% kepada PSSI, sesuai dengan amanat kongres II PSSI tahun 2011 di Bali. 3. Maka dengan ini kami menerima kepemilikan saham yang kemudian kami tindaklanjuti dengan membentuk dan meneruskan PT Liga Indonesia sampai dengan dijadwalkan kompetisi Liga Super Indonesia 2011-2012. 4. Demikian surat kesepahaman ini kami sepakati bersama tanpa tekanan dari pihak manapun. Okezone – Satu problem sepakbola Indonesia selesai. Solo, Jawa Tengah, menjadi saksi awal era baru sepakbola Tanah Air dengan memilih Djohar Arifin dan Farid Rahman sebagai ketua dan wakil ketua umum PSSI, menggantikan Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie. Terpilihnya Djohar jelas menjadi angin segar bagi pecinta olahraga mengolah si kulit bundar. Bagaimana tidak, selama ini masyarakat Indonesia memimpikan pemimpin yang mampu memberikan totalitasnya kepada sepakbola. Selain mereformasi PSSI, Djohar juga diharapkan memiliki target jangka panjang. Apalagi kalau bukan prestasi. Selama ini Indonesia seperti jalan di tempat. Jangankan prestasi dunia, berjaya di kawasan Asia Tenggara saja sulit. Kita tentu masih ingat euforia masyarakat saat Firman Utina dkk berlaga di Piala AFF akhir tahun lalu. Segala lapisan masyarakat melebur menjadi satu, memerahkan Stadion Utama Gelora Bung Karno. Bahkan, ketika tim besutan Alfred Riedl (pelatih Indonesia kala itu) gagal mempersembahkan gelar juara, toh mereka tetap dianggap sebagai pahlawan bangsa. Dukungan moril tetap diberikan kepada Firman cs. Ketika itu, sukses Indonesia menjadi runner-up kompetisi se-Asia Tenggara diharapkan menjadi momentum kebangkitan sepakbola Tanah Air. Kita berharap akan ada prestasi lebih tinggi dari sekadar menjadi tim penggembira di ajang internasional. Ironisnya, usai gelaran Piala AFF, sepakbola kita justru dihantam isu pelik. Tuntutan memberhentikan Nurdin Halid cs sebagai nahkoda PSSI yang kemudian disusul dengan munculnya liga tandingan bentukan pengusaha Arifin Panigoro, Liga Primer Indonesia. Kehadiran LPI di satu sisi memberi warna tersendiri sebagai kompetisi di Indonesia. Tapi, kegigihan PSSI ketika itu untuk tidak mengakui keberadaan LPI menjadi masalah besar. Dualisme LPI dan Liga Super Indonesia (LSI) ini juga yang memperuncing kemelut induk organisasi tertinggi Tanah Air. LPI muncul lantaran tidak puas dengan kepemimpinan Nurdin Halid di PSSI. Bahkan, tiga klub anggota liga yang diakui PSSI – Persema Malang, Persebaya, dan PSM Makassar- memilih nyebrang ke LPI. Namun sejak bergulir pada Januari silam, LPI seolah jalan ditempat. Bahkan sempat tersiar kabar LPI tak mampu melanjutkan kompetisi ke putaran kedua. Nasib LPI makin tidak jelas ketika FIFA melarang Arifin maju sebagai calon ketua umum PSSI dalam Kongres Luar Biasa. Namun, kubu Arifin menegaskan LPI akan tetap melanjutkan putaran keduanya, 17 September mendatang. Yang menjadi masalahnya adalah, bagaimana bisa dua kompetisi ini bergulir di Indonesia. Ketidakjelasan format kompetisi LPI ditengarai akan menjadi masalah tersendiri bagi sepakbola Tanah Air, hingg akhirnya peleburan LPI dan LSI pun disebut-sebut menjadi jalan keluar dualisme ini. Sayang, rencana ini pun mendapat respon beragam. LPI dianggap berada di level berbeda dengan LSI. Seperti diketahui, klub-klub LSI butuh perjuangan berat mulai dari Divisi 1 dan Divisi Utama untuk bisa menembus LSI. Lalu, jika LPI begitu saja dileburkan dengan LSI dipastikan akan menimbulkan kecemburuan diantara peserta Divisi 1 dan Divisi Utama. Pasalnya mereka “berdarah-darah” untuk bisa menembus level tertinggi kompetisi sepakbola Indonesia, sementara klub-klub LPI hampir semuanya baru terbentuk satu tahun terakhir. Belum lagi masalah biaya operasional klub. Dengan bertambahnya jumlah klub, maka dana yang dibutuhkan akan semakin besar. Padahal selama ini klub selalu morat marit mencari dana, terlebih mulai musim depan tak ada lagi aliran dari ABPD. Ini dimaksudkan agar klub mandiri dan sebagai langkah awal menuju sepakbola profesional. Saat ini saja sejumlah klub baik LPI dan LSI masih dihadapkan pada masalah pelik, minimnya aliran dana yang berakibat pada mandeknya gaji pemain. Namun, pada akhirnya bagaimana format kompetisi ke depannya diserahkan kepada PSSI. Yang terpenting tidak membelok dari tujuan utama, yakni memajukan sepakbola Indonesia.
V. PENUTUP
A.KESIMPULAN
PSSI dari era Nurdin Halid hingga saat ini masih banyak masalah di intern PSSI sendiri.PSSI terlihat seperti lebih mementingkan kepentingan individu ataupun kelompok dari pada kemajuan sepak bola Indonesia sendiri.dan terlihat egois sehingga masukan-masukan dari luar tidak didengar oleh mereka.dan wajar saja jika ada liga tandingan yang dibuat oleh pihak lain di luar PSSI,mungkin dasar pembuatan liga tandingan tersebut didasari rasa ketidak puasan seseorang atau kelompok terhadap peraturan PSSI yang ada saat ini sehingga membuat liga tandingan yang menurut mereka sesuai dengan statuta pada saat Kongres II PSSI tahun 2011 yang di selenggarakan di Bali.
B.SARAN
Sebaiknya PSSI harus mematuhi peraturan yang telah di musyawarahkan dan telah di mufakatkan pada saat kongres atau mengikuti peraturan FIFA yang ada.dan seharusnya PSSI mendengar aspirasi dari anggotanya.karena,didalam setiap organisasi belum tentu seorang peminpin atau ketua organisasi benar,dan belum tentu jua anggota di bawahnya salah.dan jika masih terjadi masalah seperti ini hendaknya diadakan musyawarah atau kongres kembali.