MAKALAH ORGANISASI PERSATUAN SEPAK BOLA SELURUH INDONESIA (PSSI)
I.LATAR BELAKANG
Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, disingkat PSSI, adalah
organisasi induk yang bertugas mengatur kegiatan olahraga sepak bola di
Indonesia. PSSI berdiri pada tanggal 19 April 1930 dengan nama awal
Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia. Ketua umum pertamanya adalah Ir.
Soeratin Sosrosoegondo. PSSI dibentuk pada tanggal 19 April 1930 di
Yogyakarta dengan nama Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia. Sebagai
organisasi olahraga yang lahir pada masa penjajahan Belanda, kelahiran
PSSI ada kaitannya dengan upaya politik untuk menentang penjajahan.
Apabila mau meneliti dan menganalisa lebih lanjut saat-saat sebelum,
selama, dan sesudah kelahirannya hingga 5 tahun pasca proklamasi
kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, terlihat jelas bahwa PSSI lahir
dibidani oleh muatan politis, baik secara langsung maupun tidak, untuk
menentang penjajahan dengan strategi menyemai benih-benih nasionalisme
di dada pemuda-pemuda Indonesia yang ikut bergabung. PSSI didirikan oleh
seorang insinyur sipil bernama Soeratin Sosrosoegondo. Ia menyelesaikan
pendidikannya di Sekolah Teknik Tinggi di Heckelenburg, Jerman, pada
tahun 1927 dan kembali ke tanah air pada tahun 1928. Ketika kembali,
Soeratin bekerja pada sebuah perusahaan bangunan Belanda, Sizten en
Lausada, yang berkantor pusat di Yogyakarta. Di sana beliau merupakan
satu-satunya orang Indonesia yang duduk sejajar dengan komisaris
perusahaan konstruksi besar itu. Akan tetapi, didorong oleh semangat
nasionalisme yang tinggi, beliau kemudian memutuskan untuk mundur dari
perusahaan tersebut. Setelah berhenti dari Sizten en Lausada, Soeratin
lebih banyak aktif di bidang pergerakan. Sebagai seorang pemuda yang
gemar bermain sepak bola, beliau menyadari kepentingan pelaksanaan
butir-butir keputusan yang telah disepakati bersama dalam pertemuan para
pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 (Sumpah Pemuda). Soeratin
melihat sepak bola sebagai wadah terbaik untuk menyemai nasionalisme di
kalangan pemuda sebagai sarana untuk menentang Belanda. Untuk
mewujudkan cita-citanya itu, Soeratin rajin mengadakan pertemuan dengan
tokoh-tokoh sepak bola di Solo, Yogyakarta, dan Bandung. Pertemuan
dilakukan dengan kontak pribadi secara diam-diam untuk menghindari
sergapan Polisi Belanda (PID). Kemudian, ketika mengadakan pertemuan di
hotel kecil Binnenhof di Jalan Kramat 17, Jakarta, Soeri, ketua VIJ
(Voetbalbond Indonesische Jakarta), dan juga pengurus lainnya,
dimatangkanlah gagasan perlunya dibentuk sebuah organisasi sepak bola
nasional. Selanjutnya, pematangan gagasan tersebut dilakukan kembali di
Bandung, Yogyakarta, dan Solo yang dilakukan dengan beberapa tokoh
pergerakan nasional, seperti Daslam Hadiwasito, Amir Notopratomo, A.
Hamid, dan Soekarno (bukan Bung Karno). Sementara itu, untuk kota-kota
lainnya, pematangan dilakukan dengan cara kontak pribadi atau melalui
kurir, seperti dengan Soediro yang menjadi Ketua Asosiasi Muda Magelang.
Kemudian pada tanggal 19 April 1930, berkumpullah wakil dari VIJ
(Sjamsoedin, mahasiswa RHS), BIVB – Bandoengsche Indonesische Voetbal
Bond (Gatot), PSM – Persatuan sepak bola Mataram Yogyakarta (Daslam
Hadiwasito, A. Hamid, dan M. Amir Notopratomo), VVB – Vortenlandsche
Voetbal Bond Solo (Soekarno), MVB – Madioensche Voetbal Bond
(Kartodarmoedjo), IVBM – Indonesische Voetbal Bond Magelang (E.A.
Mangindaan), dan SIVB – Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond
(Pamoedji). Dari pertemuan tersebut, diambillah keputusan untuk
mendirikan PSSI, singkatan dari Persatoean Sepak Raga Seloeroeh
Indonesia. Nama PSSI lalu diubah dalam kongres PSSI di Solo pada tahun
1930 menjadi Persatuan sepak bola Seluruh Indonesia sekaligus menetapkan
Ir. Soeratin sebagai ketua umumnya. II.RUMUSAN MASALAH
Sampai saat ini,di dalam tubuh PSSI banyak sekali permasalahan yang
terjadi,seperti adanya liga tandingan atau liga yang bukan di bawah
naungan PSSI tersebut. III.LANDASAN TEORI PSSI di masa kepemimpinan
Nurdin Halid memiliki beberapa hal yang dianggap kontroversi, antara
lain mudahnya Nurdin Halid memberikan ampunan atas pelanggaran, kukuhnya
Nurdin Halid sebagai Ketua Umum meski dia dipenjara, isu tidak sedap
yang beredar pada masa pemilihan Ketua Umum tahun 2010, dan reaksi
penolakan atas diselenggarakannya Liga Primer Indonesia. Pada 13 Agustus
2007, Ketua Umum Nurdin Halid divonis dua tahun penjara akibat tindak
pidana korupsi dalam pengadaan minyak goreng. Berdasarkan standar
statuta FIFA, seorang pelaku kriminal tidak boleh menjabat sebagai ketua
umum sebuah asosiasi sepakbola nasionalKarena alasan tersebut, Nurdin
didesak untuk mundur dari berbagai pihakJusuf Kalla (Wakil Presiden RI
saat itu), Ketua KONI, dan bahkan FIFA menekan Nurdin untuk mundur. FIFA
bahkan mengancam untuk menjatuhkan sanksi kepada PSSI jika tidak
diselenggarakan pemilihan ulang ketua umum. Akan tetapi Nurdin
bersikeras untuk tidak mundur dari jabatannya sebagai ketua PSSI, dan
tetap menjalankan kepemimpinan PSSI dari balik jeruji penjara Agar tidak
melanggar statuta PSSI, statuta mengenai ketua umum yang sebelumnya
berbunyi “harus tidak pernah terlibat dalam kasus kriminal” (bahasa
Inggris: “They…, must not have been previously found guilty of a
criminal offense….”) diubah dengan menghapuskan kata “pernah” (bahasa
Inggris: “have been previously”) sehingga artinya menjadi “harus tidak
sedang dinyatakan bersalah atas suatu tindakan kriminal” (bahasa
Inggris: “… must not found guilty of a criminal offense…”). Setelah masa
tahanannya selesai, Nurdin kembali menjabat sebagai ketua PSSI. Pada
Oktober 2010, Liga Primer Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas sepak bola Indonesia dideklarasikan di Semarang oleh Konsorsium
dan 17 perwakilan klub. Kompetisi ini tidak direstui oleh PSSI dan
dianggap ilegal. Meski PSSI memaparkan secara panjang lebar alasan
mengapa LPI melawan hukum, organisasi ini tidak pernah menjelaskan
alasan mengapa mereka tidak merestui LPI, kecuali menyebut LPI sebagai
“kompetisi ecek-ecek”,”tarkam”,dan “banci.” LPI akhirnya mendapatkan
izin dari pemerintah melalui Menteri Pemuda dan Olahraga Andi
Mallarangeng. Klub anggota yang keluar dari kompetisi PSSI dan mengikuti
Liga Primer Indonesia dikenakan sanksi degradasidan tidak diundang
dalam Munas PSSI. Padahal klub-klub tersebut hanya mengundurkan diri
dari Liga Super Indonesia dan bukan dari keanggotaan PSSI, sehingga
masih memiliki hak suara dalam kongres. Selain itu, menurut Statuta
PSSI, penghapusan keanggotaan klub dari PSSI tidak dapat ditentukan
hanya oleh petinggi PSSI, harus melalui kongres dan disetujui minimal
3/4 anggota yang hadir. Kisruh di PSSI semakin menjadi-jadi semenjak
munculnya LPI. Ketua Umum Nurdin Halid melarang segala aktivitas yang
dilakukan oleh LPI. Pada Kongres PSSI tanggal 26 Maret 2011 di
Pekanbaru, Riau, masalah kekisruhan di tubuh PSSI seperti disengaja
disembunyikan dari publik dengan cara mengadakan kongres secara
tertutup. Kongres tersebut pada akhirnya tidak berhasil diselenggarakan
karena terjadi kekisruhan mengenai hak suara Pada 1 April 2011, Komite
Darurat FIFA memutuskan untuk membentuk Komite Normalisasi yang akan
mengambil alih kepemimpinan PSSI dari komite eksekutif di bawah pimpinan
Nurdin Halid. Komite Darurat FIFA menganggap bahwa kepemimpinan PSSI
saat ini tidak dapat mengendalikan sepak bola di Indonesia, terbukti
dengan kegagalannya mengendalikan LPI dan menyelenggarakan kongres. FIFA
juga menyatakan bahwa 4 orang calon Ketua Umum PSSI yaitu Nurdin Halid,
Nirwan Bakrie, Arifin Panigoro, dan George Toisutta tidak dapat
mencalonkan diri sebagai ketua umum sesuai dengan keputusan Komite
Banding PSSI tanggal 28 Februari 2011. Selanjutnya, FIFA mengangkat Agum
Gumelar sebagai Ketua Komite Normalisasi PSSI. Setelah melalui
serangkaian kegagalan, termasuk kembali gagalnya penyelengaraan Kongres
tanggal 20 Mei 2011 di Jakarta, akhirnya dalam Kongres Luar Biasa
tanggal 9 Juli 2011 di Solo, Djohar Arifin Husin terpilih sebagai Ketua
Umum PSSI periode 2011-2015.
IV. PEMBAHASAN
Kepengurusan PSSI Periode 2011-2015 : Ketua Umum : Djohar Arifin
Husin Wakil Ketua Umum : Farid Rahman Anggota Komite Eksekutif : 1.
Sihar Sitorus 2. Tuti Dau 3. Robertho Rouw 4. Tony Aprilani 5. Bob Hippy
6. La Nyalla M. Mattalitti 7. Widodo Santoso 8. Erwin Dwi Budiawan 9.
Mawardi Nurdin Sekretaris Jendral : Tri Goestoro Wakil Sekretaris
Jendral : 1. Tondo Widodo 2. Hadiyandra Bendahara : Zulkifli Nurdin
Wakil Bendahara: Husni Hasibuan Adanya liga tandingan dari PSSI saat era
Nurdin Halid ataupun saat ini yang di pimpin oleh Djohar bisa memecah
belah PSSI. CERITAMU.COM – Layaknya De javu Liga Super Indonesia musim
lalu dimana di tengah musim terbentuk sebuah liga tandingan yaitu Liga
Primer Indonesia, di awal musim ini hal tersebut sepertinya bisa
terulang kembali. Wacana dibentuknya liga tandingan terjadi usai
pertemuan manajer-manajer klub Liga Indonesia yang digelar malam tadi di
Hotel Ambhara, Kebayoran Baru, Jakarta. Sebanyak 14 klub menyatakan
keberatannya atas beberapa hal keputusan PSSI terkait Liga Indonesia
musim depan yang menurut mereka telah melanggar Statuta PSSI. 14 klub
tersebut merupakan klub-klub yang ikut serta di Liga Super Indonesia
musim lalu yaitu Persiba, Persipura, Persidafon, Persiwa, Persela, PSPS,
Pelita Jaya, Semen Padang, Deltras, Mitra Kukar, Sriwijaya, Arema,
Persisam dan Persib. Dalam pertemuan tersebut, 14 dari 24 klub peserta
yang rencananya akan ikut serta dalam Liga Prima Indonesia musim depan
meminta pelaksanaan Liga dikembalikan kepada PT Liga Indonesia karena
pengelola saat ini yaitu PT Liga Prima Indonesia Sportindo dianggap
tidak kompeten. Selain itu mereka juga mengkritik PSSI yang tetap
memaksakan Liga diisi 24 klub, yang mana hal tersebut akan membuat
pelaksanaan Liga menjadi sangat panjang dan melelahkan. Selain itu
penambahan beberapa klub seperti Persema dan Persibo ikut serta dalam
kasta tertinggi Liga Indonesia juga tidak bisa diterima karena kedua
klub tersebut harusnya masih dalam hukuman PSSI. “Kami juga termasuk
memperjuangkan soal 24 klub yang ikut di dalam liga. Karena dalam
keputusan kongres Bali itu cuma 18 klub. Kalau di antara 24 klub itu
tidak ada Persema dan Persibo itu mungkin tidak masalah. Tapi ini ada,
ini kan tidak sesuai statuta.” ujar Juru Bicara kelompok 14 klub,
Harbiansyah yang juga merupakan General Manager Persisam Samarinda.
“Kami ini kan menentang Nurdin Halid karena dia tidak berbuat sesuai
statuta. Kalau sekarang tidak sesuai statuta juga, apa kata dunia.
Kalian pikir saja, 24 klub mati kita. Di Eropa saja yang cuma tinggal
pakai kereta cuma 20 klub. Ini kita yang dari Sabang sampai
Merauke.”lanjutnya. Di akhir, persatuan 14 klub tersebut kemudian
menuliskan pernyataan sikap mereka kepada PSSI dan membagikannya kepada
seluruh wartawan yang hadir di pertemuan klub. Berikut isi dari
pernyataan sikap tersebut : Memperhatikan perjalanan rapat yang tidak
sesuai dengan keinginan peserta serta keinginan PSSI yang diwakili oleh
Wakil Ketua Umum Farid Rahman dan Exco Sihar Sitorus tidak sesuai dengan
statuta. Maka dengan ini kami telah sepaham bahwa: 1.Kami tetap
konsisten untuk melanjutkan kompetisi Liga Super Indonesia yang akan
dikelola oleh PT Liga Indonesia sesuai dengan amanat dan ketetapan
Kongres II PSSI tahun 2011 di Bali. 2. Kami menerima penyerahan hibah
saham dari PT Liga Indonesia yang diwakili oleh sdr. Djoko Driyono
kepada klub-klub Liga Super Indonesia sejumlah 99% kepada klub-klub dan
1% kepada PSSI, sesuai dengan amanat kongres II PSSI tahun 2011 di Bali.
3. Maka dengan ini kami menerima kepemilikan saham yang kemudian kami
tindaklanjuti dengan membentuk dan meneruskan PT Liga Indonesia sampai
dengan dijadwalkan kompetisi Liga Super Indonesia 2011-2012. 4. Demikian
surat kesepahaman ini kami sepakati bersama tanpa tekanan dari pihak
manapun. Okezone – Satu problem sepakbola Indonesia selesai. Solo, Jawa
Tengah, menjadi saksi awal era baru sepakbola Tanah Air dengan memilih
Djohar Arifin dan Farid Rahman sebagai ketua dan wakil ketua umum PSSI,
menggantikan Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie. Terpilihnya Djohar jelas
menjadi angin segar bagi pecinta olahraga mengolah si kulit bundar.
Bagaimana tidak, selama ini masyarakat Indonesia memimpikan pemimpin
yang mampu memberikan totalitasnya kepada sepakbola. Selain mereformasi
PSSI, Djohar juga diharapkan memiliki target jangka panjang. Apalagi
kalau bukan prestasi. Selama ini Indonesia seperti jalan di tempat.
Jangankan prestasi dunia, berjaya di kawasan Asia Tenggara saja sulit.
Kita tentu masih ingat euforia masyarakat saat Firman Utina dkk berlaga
di Piala AFF akhir tahun lalu. Segala lapisan masyarakat melebur menjadi
satu, memerahkan Stadion Utama Gelora Bung Karno. Bahkan, ketika tim
besutan Alfred Riedl (pelatih Indonesia kala itu) gagal mempersembahkan
gelar juara, toh mereka tetap dianggap sebagai pahlawan bangsa. Dukungan
moril tetap diberikan kepada Firman cs. Ketika itu, sukses Indonesia
menjadi runner-up kompetisi se-Asia Tenggara diharapkan menjadi momentum
kebangkitan sepakbola Tanah Air. Kita berharap akan ada prestasi lebih
tinggi dari sekadar menjadi tim penggembira di ajang internasional.
Ironisnya, usai gelaran Piala AFF, sepakbola kita justru dihantam isu
pelik. Tuntutan memberhentikan Nurdin Halid cs sebagai nahkoda PSSI yang
kemudian disusul dengan munculnya liga tandingan bentukan pengusaha
Arifin Panigoro, Liga Primer Indonesia. Kehadiran LPI di satu sisi
memberi warna tersendiri sebagai kompetisi di Indonesia. Tapi, kegigihan
PSSI ketika itu untuk tidak mengakui keberadaan LPI menjadi masalah
besar. Dualisme LPI dan Liga Super Indonesia (LSI) ini juga yang
memperuncing kemelut induk organisasi tertinggi Tanah Air. LPI muncul
lantaran tidak puas dengan kepemimpinan Nurdin Halid di PSSI. Bahkan,
tiga klub anggota liga yang diakui PSSI – Persema Malang, Persebaya, dan
PSM Makassar- memilih nyebrang ke LPI. Namun sejak bergulir pada
Januari silam, LPI seolah jalan ditempat. Bahkan sempat tersiar kabar
LPI tak mampu melanjutkan kompetisi ke putaran kedua. Nasib LPI makin
tidak jelas ketika FIFA melarang Arifin maju sebagai calon ketua umum
PSSI dalam Kongres Luar Biasa. Namun, kubu Arifin menegaskan LPI akan
tetap melanjutkan putaran keduanya, 17 September mendatang. Yang menjadi
masalahnya adalah, bagaimana bisa dua kompetisi ini bergulir di
Indonesia. Ketidakjelasan format kompetisi LPI ditengarai akan menjadi
masalah tersendiri bagi sepakbola Tanah Air, hingg akhirnya peleburan
LPI dan LSI pun disebut-sebut menjadi jalan keluar dualisme ini. Sayang,
rencana ini pun mendapat respon beragam. LPI dianggap berada di level
berbeda dengan LSI. Seperti diketahui, klub-klub LSI butuh perjuangan
berat mulai dari Divisi 1 dan Divisi Utama untuk bisa menembus LSI.
Lalu, jika LPI begitu saja dileburkan dengan LSI dipastikan akan
menimbulkan kecemburuan diantara peserta Divisi 1 dan Divisi Utama.
Pasalnya mereka “berdarah-darah” untuk bisa menembus level tertinggi
kompetisi sepakbola Indonesia, sementara klub-klub LPI hampir semuanya
baru terbentuk satu tahun terakhir. Belum lagi masalah biaya operasional
klub. Dengan bertambahnya jumlah klub, maka dana yang dibutuhkan akan
semakin besar. Padahal selama ini klub selalu morat marit mencari dana,
terlebih mulai musim depan tak ada lagi aliran dari ABPD. Ini
dimaksudkan agar klub mandiri dan sebagai langkah awal menuju sepakbola
profesional. Saat ini saja sejumlah klub baik LPI dan LSI masih
dihadapkan pada masalah pelik, minimnya aliran dana yang berakibat pada
mandeknya gaji pemain. Namun, pada akhirnya bagaimana format kompetisi
ke depannya diserahkan kepada PSSI. Yang terpenting tidak membelok dari
tujuan utama, yakni memajukan sepakbola Indonesia. V. PENUTUP
A.KESIMPULAN PSSI dari era Nurdin Halid hingga saat ini masih banyak
masalah di intern PSSI sendiri.PSSI terlihat seperti lebih mementingkan
kepentingan individu ataupun kelompok dari pada kemajuan sepak bola
Indonesia sendiri.dan terlihat egois sehingga masukan-masukan dari luar
tidak didengar oleh mereka.dan wajar saja jika ada liga tandingan yang
dibuat oleh pihak lain diI.LATAR BELAKANG Persatuan Sepak Bola Seluruh
Indonesia, disingkat PSSI, adalah organisasi induk yang bertugas
mengatur kegiatan olahraga sepak bola di Indonesia. PSSI berdiri pada
tanggal 19 April 1930 dengan nama awal Persatuan Sepak Raga Seluruh
Indonesia. Ketua umum pertamanya adalah Ir. Soeratin Sosrosoegondo. PSSI
dibentuk pada tanggal 19 April 1930 di Yogyakarta dengan nama Persatuan
Sepak Raga Seluruh Indonesia. Sebagai organisasi olahraga yang lahir
pada masa penjajahan Belanda, kelahiran PSSI ada kaitannya dengan upaya
politik untuk menentang penjajahan. Apabila mau meneliti dan menganalisa
lebih lanjut saat-saat sebelum, selama, dan sesudah kelahirannya hingga
5 tahun pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, terlihat
jelas bahwa PSSI lahir dibidani oleh muatan politis, baik secara
langsung maupun tidak, untuk menentang penjajahan dengan strategi
menyemai benih-benih nasionalisme di dada pemuda-pemuda Indonesia yang
ikut bergabung. PSSI didirikan oleh seorang insinyur sipil bernama
Soeratin Sosrosoegondo. Ia menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Teknik
Tinggi di Heckelenburg, Jerman, pada tahun 1927 dan kembali ke tanah
air pada tahun 1928. Ketika kembali, Soeratin bekerja pada sebuah
perusahaan bangunan Belanda, Sizten en Lausada, yang berkantor pusat di
Yogyakarta. Di sana beliau merupakan satu-satunya orang Indonesia yang
duduk sejajar dengan komisaris perusahaan konstruksi besar itu. Akan
tetapi, didorong oleh semangat nasionalisme yang tinggi, beliau kemudian
memutuskan untuk mundur dari perusahaan tersebut. Setelah berhenti dari
Sizten en Lausada, Soeratin lebih banyak aktif di bidang pergerakan.
Sebagai seorang pemuda yang gemar bermain sepak bola, beliau menyadari
kepentingan pelaksanaan butir-butir keputusan yang telah disepakati
bersama dalam pertemuan para pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober
1928 (Sumpah Pemuda). Soeratin melihat sepak bola sebagai wadah terbaik
untuk menyemai nasionalisme di kalangan pemuda sebagai sarana untuk
menentang Belanda. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, Soeratin rajin
mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh sepak bola di Solo, Yogyakarta,
dan Bandung. Pertemuan dilakukan dengan kontak pribadi secara diam-diam
untuk menghindari sergapan Polisi Belanda (PID). Kemudian, ketika
mengadakan pertemuan di hotel kecil Binnenhof di Jalan Kramat 17,
Jakarta, Soeri, ketua VIJ (Voetbalbond Indonesische Jakarta), dan juga
pengurus lainnya, dimatangkanlah gagasan perlunya dibentuk sebuah
organisasi sepak bola nasional. Selanjutnya, pematangan gagasan tersebut
dilakukan kembali di Bandung, Yogyakarta, dan Solo yang dilakukan
dengan beberapa tokoh pergerakan nasional, seperti Daslam Hadiwasito,
Amir Notopratomo, A. Hamid, dan Soekarno (bukan Bung Karno). Sementara
itu, untuk kota-kota lainnya, pematangan dilakukan dengan cara kontak
pribadi atau melalui kurir, seperti dengan Soediro yang menjadi Ketua
Asosiasi Muda Magelang. Kemudian pada tanggal 19 April 1930,
berkumpullah wakil dari VIJ (Sjamsoedin, mahasiswa RHS), BIVB –
Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (Gatot), PSM – Persatuan sepak
bola Mataram Yogyakarta (Daslam Hadiwasito, A. Hamid, dan M. Amir
Notopratomo), VVB – Vortenlandsche Voetbal Bond Solo (Soekarno), MVB –
Madioensche Voetbal Bond (Kartodarmoedjo), IVBM – Indonesische Voetbal
Bond Magelang (E.A. Mangindaan), dan SIVB – Soerabajasche Indonesische
Voetbal Bond (Pamoedji). Dari pertemuan tersebut, diambillah keputusan
untuk mendirikan PSSI, singkatan dari Persatoean Sepak Raga Seloeroeh
Indonesia. Nama PSSI lalu diubah dalam kongres PSSI di Solo pada tahun
1930 menjadi Persatuan sepak bola Seluruh Indonesia sekaligus menetapkan
Ir. Soeratin sebagai ketua umumnya. II.RUMUSAN MASALAH Sampai saat
ini,di dalam tubuh PSSI banyak sekali permasalahan yang terjadi,seperti
adanya liga tandingan atau liga yang bukan di bawah naungan PSSI
tersebut. III.LANDASAN TEORI PSSI di masa kepemimpinan Nurdin Halid
memiliki beberapa hal yang dianggap kontroversi, antara lain mudahnya
Nurdin Halid memberikan ampunan atas pelanggaran, kukuhnya Nurdin Halid
sebagai Ketua Umum meski dia dipenjara, isu tidak sedap yang beredar
pada masa pemilihan Ketua Umum tahun 2010, dan reaksi penolakan atas
diselenggarakannya Liga Primer Indonesia. Pada 13 Agustus 2007, Ketua
Umum Nurdin Halid divonis dua tahun penjara akibat tindak pidana korupsi
dalam pengadaan minyak goreng. Berdasarkan standar statuta FIFA,
seorang pelaku kriminal tidak boleh menjabat sebagai ketua umum sebuah
asosiasi sepakbola nasionalKarena alasan tersebut, Nurdin didesak untuk
mundur dari berbagai pihakJusuf Kalla (Wakil Presiden RI saat itu),
Ketua KONI, dan bahkan FIFA menekan Nurdin untuk mundur. FIFA bahkan
mengancam untuk menjatuhkan sanksi kepada PSSI jika tidak
diselenggarakan pemilihan ulang ketua umum. Akan tetapi Nurdin
bersikeras untuk tidak mundur dari jabatannya sebagai ketua PSSI, dan
tetap menjalankan kepemimpinan PSSI dari balik jeruji penjara Agar tidak
melanggar statuta PSSI, statuta mengenai ketua umum yang sebelumnya
berbunyi “harus tidak pernah terlibat dalam kasus kriminal” (bahasa
Inggris: “They…, must not have been previously found guilty of a
criminal offense….”) diubah dengan menghapuskan kata “pernah” (bahasa
Inggris: “have been previously”) sehingga artinya menjadi “harus tidak
sedang dinyatakan bersalah atas suatu tindakan kriminal” (bahasa
Inggris: “… must not found guilty of a criminal offense…”). Setelah masa
tahanannya selesai, Nurdin kembali menjabat sebagai ketua PSSI. Pada
Oktober 2010, Liga Primer Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas sepak bola Indonesia dideklarasikan di Semarang oleh Konsorsium
dan 17 perwakilan klub. Kompetisi ini tidak direstui oleh PSSI dan
dianggap ilegal. Meski PSSI memaparkan secara panjang lebar alasan
mengapa LPI melawan hukum, organisasi ini tidak pernah menjelaskan
alasan mengapa mereka tidak merestui LPI, kecuali menyebut LPI sebagai
“kompetisi ecek-ecek”,”tarkam”,dan “banci.” LPI akhirnya mendapatkan
izin dari pemerintah melalui Menteri Pemuda dan Olahraga Andi
Mallarangeng. Klub anggota yang keluar dari kompetisi PSSI dan mengikuti
Liga Primer Indonesia dikenakan sanksi degradasidan tidak diundang
dalam Munas PSSI. Padahal klub-klub tersebut hanya mengundurkan diri
dari Liga Super Indonesia dan bukan dari keanggotaan PSSI, sehingga
masih memiliki hak suara dalam kongres. Selain itu, menurut Statuta
PSSI, penghapusan keanggotaan klub dari PSSI tidak dapat ditentukan
hanya oleh petinggi PSSI, harus melalui kongres dan disetujui minimal
3/4 anggota yang hadir. Kisruh di PSSI semakin menjadi-jadi semenjak
munculnya LPI. Ketua Umum Nurdin Halid melarang segala aktivitas yang
dilakukan oleh LPI. Pada Kongres PSSI tanggal 26 Maret 2011 di
Pekanbaru, Riau, masalah kekisruhan di tubuh PSSI seperti disengaja
disembunyikan dari publik dengan cara mengadakan kongres secara
tertutup. Kongres tersebut pada akhirnya tidak berhasil diselenggarakan
karena terjadi kekisruhan mengenai hak suara Pada 1 April 2011, Komite
Darurat FIFA memutuskan untuk membentuk Komite Normalisasi yang akan
mengambil alih kepemimpinan PSSI dari komite eksekutif di bawah pimpinan
Nurdin Halid. Komite Darurat FIFA menganggap bahwa kepemimpinan PSSI
saat ini tidak dapat mengendalikan sepak bola di Indonesia, terbukti
dengan kegagalannya mengendalikan LPI dan menyelenggarakan kongres. FIFA
juga menyatakan bahwa 4 orang calon Ketua Umum PSSI yaitu Nurdin Halid,
Nirwan Bakrie, Arifin Panigoro, dan George Toisutta tidak dapat
mencalonkan diri sebagai ketua umum sesuai dengan keputusan Komite
Banding PSSI tanggal 28 Februari 2011. Selanjutnya, FIFA mengangkat Agum
Gumelar sebagai Ketua Komite Normalisasi PSSI. Setelah melalui
serangkaian kegagalan, termasuk kembali gagalnya penyelengaraan Kongres
tanggal 20 Mei 2011 di Jakarta, akhirnya dalam Kongres Luar Biasa
tanggal 9 Juli 2011 di Solo, Djohar Arifin Husin terpilih sebagai Ketua
Umum PSSI periode 2011-2015. IV. PEMBAHASAN Kepengurusan PSSI Periode
2011-2015 : Ketua Umum : Djohar Arifin Husin Wakil Ketua Umum : Farid
Rahman Anggota Komite Eksekutif : 1. Sihar Sitorus 2. Tuti Dau 3.
Robertho Rouw 4. Tony Aprilani 5. Bob Hippy 6. La Nyalla M. Mattalitti
7. Widodo Santoso 8. Erwin Dwi Budiawan 9. Mawardi Nurdin Sekretaris
Jendral : Tri Goestoro Wakil Sekretaris Jendral : 1. Tondo Widodo 2.
Hadiyandra Bendahara : Zulkifli Nurdin Wakil Bendahara: Husni Hasibuan
Adanya liga tandingan dari PSSI saat era Nurdin Halid ataupun saat ini
yang di pimpin oleh Djohar bisa memecah belah PSSI. CERITAMU.COM –
Layaknya De javu Liga Super Indonesia musim lalu dimana di tengah musim
terbentuk sebuah liga tandingan yaitu Liga Primer Indonesia, di awal
musim ini hal tersebut sepertinya bisa terulang kembali. Wacana
dibentuknya liga tandingan terjadi usai pertemuan manajer-manajer klub
Liga Indonesia yang digelar malam tadi di Hotel Ambhara, Kebayoran Baru,
Jakarta. Sebanyak 14 klub menyatakan keberatannya atas beberapa hal
keputusan PSSI terkait Liga Indonesia musim depan yang menurut mereka
telah melanggar Statuta PSSI. 14 klub tersebut merupakan klub-klub yang
ikut serta di Liga Super Indonesia musim lalu yaitu Persiba, Persipura,
Persidafon, Persiwa, Persela, PSPS, Pelita Jaya, Semen Padang, Deltras,
Mitra Kukar, Sriwijaya, Arema, Persisam dan Persib. Dalam pertemuan
tersebut, 14 dari 24 klub peserta yang rencananya akan ikut serta dalam
Liga Prima Indonesia musim depan meminta pelaksanaan Liga dikembalikan
kepada PT Liga Indonesia karena pengelola saat ini yaitu PT Liga Prima
Indonesia Sportindo dianggap tidak kompeten. Selain itu mereka juga
mengkritik PSSI yang tetap memaksakan Liga diisi 24 klub, yang mana hal
tersebut akan membuat pelaksanaan Liga menjadi sangat panjang dan
melelahkan. Selain itu penambahan beberapa klub seperti Persema dan
Persibo ikut serta dalam kasta tertinggi Liga Indonesia juga tidak bisa
diterima karena kedua klub tersebut harusnya masih dalam hukuman PSSI.
“Kami juga termasuk memperjuangkan soal 24 klub yang ikut di dalam liga.
Karena dalam keputusan kongres Bali itu cuma 18 klub. Kalau di antara
24 klub itu tidak ada Persema dan Persibo itu mungkin tidak masalah.
Tapi ini ada, ini kan tidak sesuai statuta.” ujar Juru Bicara kelompok
14 klub, Harbiansyah yang juga merupakan General Manager Persisam
Samarinda. “Kami ini kan menentang Nurdin Halid karena dia tidak berbuat
sesuai statuta. Kalau sekarang tidak sesuai statuta juga, apa kata
dunia. Kalian pikir saja, 24 klub mati kita. Di Eropa saja yang cuma
tinggal pakai kereta cuma 20 klub. Ini kita yang dari Sabang sampai
Merauke.”lanjutnya. Di akhir, persatuan 14 klub tersebut kemudian
menuliskan pernyataan sikap mereka kepada PSSI dan membagikannya kepada
seluruh wartawan yang hadir di pertemuan klub. Berikut isi dari
pernyataan sikap tersebut : Memperhatikan perjalanan rapat yang tidak
sesuai dengan keinginan peserta serta keinginan PSSI yang diwakili oleh
Wakil Ketua Umum Farid Rahman dan Exco Sihar Sitorus tidak sesuai dengan
statuta. Maka dengan ini kami telah sepaham bahwa: 1.Kami tetap
konsisten untuk melanjutkan kompetisi Liga Super Indonesia yang akan
dikelola oleh PT Liga Indonesia sesuai dengan amanat dan ketetapan
Kongres II PSSI tahun 2011 di Bali. 2. Kami menerima penyerahan hibah
saham dari PT Liga Indonesia yang diwakili oleh sdr. Djoko Driyono
kepada klub-klub Liga Super Indonesia sejumlah 99% kepada klub-klub dan
1% kepada PSSI, sesuai dengan amanat kongres II PSSI tahun 2011 di Bali.
3. Maka dengan ini kami menerima kepemilikan saham yang kemudian kami
tindaklanjuti dengan membentuk dan meneruskan PT Liga Indonesia sampai
dengan dijadwalkan kompetisi Liga Super Indonesia 2011-2012. 4. Demikian
surat kesepahaman ini kami sepakati bersama tanpa tekanan dari pihak
manapun. Okezone – Satu problem sepakbola Indonesia selesai. Solo, Jawa
Tengah, menjadi saksi awal era baru sepakbola Tanah Air dengan memilih
Djohar Arifin dan Farid Rahman sebagai ketua dan wakil ketua umum PSSI,
menggantikan Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie. Terpilihnya Djohar jelas
menjadi angin segar bagi pecinta olahraga mengolah si kulit bundar.
Bagaimana tidak, selama ini masyarakat Indonesia memimpikan pemimpin
yang mampu memberikan totalitasnya kepada sepakbola. Selain mereformasi
PSSI, Djohar juga diharapkan memiliki target jangka panjang. Apalagi
kalau bukan prestasi. Selama ini Indonesia seperti jalan di tempat.
Jangankan prestasi dunia, berjaya di kawasan Asia Tenggara saja sulit.
Kita tentu masih ingat euforia masyarakat saat Firman Utina dkk berlaga
di Piala AFF akhir tahun lalu. Segala lapisan masyarakat melebur menjadi
satu, memerahkan Stadion Utama Gelora Bung Karno. Bahkan, ketika tim
besutan Alfred Riedl (pelatih Indonesia kala itu) gagal mempersembahkan
gelar juara, toh mereka tetap dianggap sebagai pahlawan bangsa. Dukungan
moril tetap diberikan kepada Firman cs. Ketika itu, sukses Indonesia
menjadi runner-up kompetisi se-Asia Tenggara diharapkan menjadi momentum
kebangkitan sepakbola Tanah Air. Kita berharap akan ada prestasi lebih
tinggi dari sekadar menjadi tim penggembira di ajang internasional.
Ironisnya, usai gelaran Piala AFF, sepakbola kita justru dihantam isu
pelik. Tuntutan memberhentikan Nurdin Halid cs sebagai nahkoda PSSI yang
kemudian disusul dengan munculnya liga tandingan bentukan pengusaha
Arifin Panigoro, Liga Primer Indonesia. Kehadiran LPI di satu sisi
memberi warna tersendiri sebagai kompetisi di Indonesia. Tapi, kegigihan
PSSI ketika itu untuk tidak mengakui keberadaan LPI menjadi masalah
besar. Dualisme LPI dan Liga Super Indonesia (LSI) ini juga yang
memperuncing kemelut induk organisasi tertinggi Tanah Air. LPI muncul
lantaran tidak puas dengan kepemimpinan Nurdin Halid di PSSI. Bahkan,
tiga klub anggota liga yang diakui PSSI – Persema Malang, Persebaya, dan
PSM Makassar- memilih nyebrang ke LPI. Namun sejak bergulir pada
Januari silam, LPI seolah jalan ditempat. Bahkan sempat tersiar kabar
LPI tak mampu melanjutkan kompetisi ke putaran kedua. Nasib LPI makin
tidak jelas ketika FIFA melarang Arifin maju sebagai calon ketua umum
PSSI dalam Kongres Luar Biasa. Namun, kubu Arifin menegaskan LPI akan
tetap melanjutkan putaran keduanya, 17 September mendatang. Yang menjadi
masalahnya adalah, bagaimana bisa dua kompetisi ini bergulir di
Indonesia. Ketidakjelasan format kompetisi LPI ditengarai akan menjadi
masalah tersendiri bagi sepakbola Tanah Air, hingg akhirnya peleburan
LPI dan LSI pun disebut-sebut menjadi jalan keluar dualisme ini. Sayang,
rencana ini pun mendapat respon beragam. LPI dianggap berada di level
berbeda dengan LSI. Seperti diketahui, klub-klub LSI butuh perjuangan
berat mulai dari Divisi 1 dan Divisi Utama untuk bisa menembus LSI.
Lalu, jika LPI begitu saja dileburkan dengan LSI dipastikan akan
menimbulkan kecemburuan diantara peserta Divisi 1 dan Divisi Utama.
Pasalnya mereka “berdarah-darah” untuk bisa menembus level tertinggi
kompetisi sepakbola Indonesia, sementara klub-klub LPI hampir semuanya
baru terbentuk satu tahun terakhir. Belum lagi masalah biaya operasional
klub. Dengan bertambahnya jumlah klub, maka dana yang dibutuhkan akan
semakin besar. Padahal selama ini klub selalu morat marit mencari dana,
terlebih mulai musim depan tak ada lagi aliran dari ABPD. Ini
dimaksudkan agar klub mandiri dan sebagai langkah awal menuju sepakbola
profesional. Saat ini saja sejumlah klub baik LPI dan LSI masih
dihadapkan pada masalah pelik, minimnya aliran dana yang berakibat pada
mandeknya gaji pemain. Namun, pada akhirnya bagaimana format kompetisi
ke depannya diserahkan kepada PSSI. Yang terpenting tidak membelok dari
tujuan utama, yakni memajukan sepakbola Indonesia.
V. PENUTUP
A.KESIMPULAN
PSSI dari era Nurdin Halid hingga saat ini masih banyak masalah di
intern PSSI sendiri.PSSI terlihat seperti lebih mementingkan kepentingan
individu ataupun kelompok dari pada kemajuan sepak bola Indonesia
sendiri.dan terlihat egois sehingga masukan-masukan dari luar tidak
didengar oleh mereka.dan wajar saja jika ada liga tandingan yang dibuat
oleh pihak lain di luar PSSI,mungkin dasar pembuatan liga tandingan
tersebut didasari rasa ketidak puasan seseorang atau kelompok terhadap
peraturan PSSI yang ada saat ini sehingga membuat liga tandingan yang
menurut mereka sesuai dengan statuta pada saat Kongres II PSSI tahun
2011 yang di selenggarakan di Bali.
B.SARAN
Sebaiknya PSSI harus mematuhi peraturan yang telah di musyawarahkan
dan telah di mufakatkan pada saat kongres atau mengikuti peraturan FIFA
yang ada.dan seharusnya PSSI mendengar aspirasi dari
anggotanya.karena,didalam setiap organisasi belum tentu seorang peminpin
atau ketua organisasi benar,dan belum tentu jua anggota di bawahnya
salah.dan jika masih terjadi masalah seperti ini hendaknya diadakan
musyawarah atau kongres kembali.